Kapolri Tegaskan Menumpas Terorisme Dengan Ideologi Tandingan

Jakarta, infobreakingnews - Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan peta jaringan teroris di Tanah Air, yang menurutnya jaringan teroris yang dihadapi belakangan ini serupa atau memiliki kemiripan dengan jaringan teroris Jamaah Islamiah (JI) yang dibentuk oleh Abu Bakar Baasyir di Malaysia.
"Saya melihat bahwa apa yang kita hadapi sekarang sebetulnya petanya mirip pada saat di zamannya Jamaah Islamiyah," kata Tito saat membuka Seminar Nasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (6/12).
Dia menyebut jaringan yang dihadapi aparat penegak hukum saat ini adalah Jamaah Anshorut Daulah (JAD) di bawah kepemimpinan Aman Abdurrahman. Keduanya, JI dan JAD merupakan perpanjangan tangan dari organisasi radikal dunia, Al qaeda dan ISIS (Negara Islam).
Hanya saja, ia mengungkapkan ada perbedaan ideologi antara JI yang berkiblat pada Al Qaeda dan JAD yang berkiblat pada ISIS. Dalam ISIS, ideologinya adalah Takfiri, yaitu semua penyatuan kepada Tuhan sehingga semua yang bukan berasal dari Tuhan adalah Inovasi. Kemudian, jika penemuan manusia maka dianggap Haram. Terbukti, peristiwa bom bunuh diri di Cirebon dilakukan pada saat salat Jumat.
Tetapi, lanjutnya, struktur organisasinya sangat mirip, yaitu terdapat amir atau pemimpin dan sejumlah letnan, serta aktor di lapangan. Walaupun, ia mengakui ISIS jauh lebih kuat daripada Al Qaeda karena dibentuk oleh mantan tentara Saddam Husein. Oleh karena itu, diyakini ISIS akan sulit diperangi. Tidak seperti Al Qaeda yang berhasil ditumpas dalam kurun waktu 10 tahun.
JAD lanjutnya, mendalangi sejumlah aksi teror di Tanah Air, sebut saja, kasus bom Thamrin, kasus bom di Ambon, penyerangan markas Brimob di Serang, hingga di Samarinda. Uniknya, Aman Abdurrahman mendekam dalam sel tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusakambangan.
Tito mengungkapkan aksi teror dilakukan oleh tiga orang jenderal lapangan JAD, yaitu Ali Mubarok, Bahrum Naim dan Bahrumsyah. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa ketiganya adalah penyalur dana aksi teror.
"Kasus bom Solo, Bahrum Naim (otaknya). kasus rencana serangan di Surabaya yang hampir sama dengan serangan di Jakarta bahrum Naim dan Bahrumsyah kasus bom gereja di Kaltim," papar Tito.
Untuk memotong jaringan sebagaimana dilakukan ketika JI masih beroperasi, Tito mengaku telah menyiapkan tiga strategi. Pertama, harus mampu menekan semua jaringan, harus mampu mendeteksi dan kemudian melumpuhkan mereka. Kedua, melakukan upaya pelemahan jaringan. Ketiga, dengan bantuan dunia internasional melumpuhkan ISIS.
Namun, Tito juga mengungkapkan perlu adanya pendekatan dari sisi ideologi untuk memutus jaringan mereka di Tanah Air. Cara yang dinilai paling efektif adalah dengan counter ideologi. Sebab, fakta di lapangan selama ini adalah pelaku tidak melulu terdesak masalah ekonomi. Seperti, Nurdin M Top yang bukan berasal dari golongan miskin ataupun dokter Azahari yang ternyata sangat terpelajar.
Menurut Tito, radikalisme timbul tidak lagi karena persoalan ekonomi semata. Melainkan, masalah memperjuangkan ideologi. Oleh karenanya, cara paling efektif menghentikannya adalah dengan melawan ideologi dengan ideologi.
Hanya saja, agar efektif dan didengarkan, perlawanan dari sisi ideologi harus dilakukan oleh orang yang pernah memiliki ideologi yang sama. Tetapi, saat ini sudah berubah, yaitu oleh para mantan pelaku aksi teror yang telah meninggalkan keinginan berjihad melalui cara kekerasan.
"Ideologi harus ditantang dengan ideologi juga. Ideologi yang bisa mengalahkan mereka diantaranya adalah Pancasila dan empat pilar kebangsaan yang harus diintensifkan. Kemudian, ideologi demokrasi yang betul-betul bisa menjamin kesejahteraan rakyat dan ideologi Islam nusantara ataupun Islam modern," ungkapnya.
Secara terpisah, terpidana seumur hidup kasus Bom Bali I, Ali Imron membenarkan bahwa latarbelakang ideologi lah yang menyebabkan aksi teror di Tanah Air dan bukan masalah ekonomi. Ideologi yang dimaksud adalah menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai Negara Islam.
"Intinya kami ingin Indonesia menjadi negara islam. Titik. Jadi bukan kemakmuran, bukan ketidaadilan semu yang kami inginkan. Ini saya mewakili pemikiran teroris, baik teroris yang sekarang ini afiliasinnya ke ISIS atau teroris yang afiliasinya tetap di Al Qaeda, itulah pemikirannya. Artinya saya katakan, pemikiran terorisme itu akan tetap ada di mana pun," ujarnya.
Oleh karena itu, ia meminta harus ada tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku teror. Sebab, menurutnya, sekuat apapun orang itu pasti takut dengan hukum. *** Johanda Sianturi.

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :