![]() |
Jakarta, Info Breaking News – Pendiri Telegram, Pavel Durov menyebut WhatsApp tak akan pernah aman.
Hal tersebut ia ungkapkan menyusul isu WhatsApp yang baru-baru ini diduga memiliki celah kemanan yang membuatnya berpotensi disisipi malware jenis mata-mata atau spyware lewat voice call.
"WhatsApp itu punya riwayat yang konsisten, dari nol enkripsi hingga rentetan masalah yang anehnya cocok untuk kepentingan pengawasan," tulis Durov dalam sebuah blog.
Usai kabar spyware meluas, WhatsApp pun segera mengimbau para pengguna untuk memperbarui aplikasinya demi menambal lubang keamanan lantaran celah tersebut dipercaya dapat dimanfaatkan oleh ktor negara untuk mengintai kalangan seperti para jurnalis, aktivis, dan sebagainya.
Menurut Durov, berita terkait spyware tersebut bukanlah hal yang mengejutkan baginya. Pasalnya, di tahun sebelumnya WhatsApp mengakui bahwa mereka punya masalah yang sama, video call via WhatsApp adalah akses yang dibutuhkan para peretas untuk masuk ke seluruh data pengguna
Dalam tulisannya, Durov beberapa kali sempat menyindir upaya WhatsApp dalam memperbaiki masalah kemanan. Durov menganggap tiap kali WhatsApp berusaha memperbaiki masalah mereka, maka semakin banyak celah keamanan baru yang akan muncul.
Durov bahkan membandingkan WhatsApp dengan aplikasi miliknya, yakni Telegram.
Berbeda dengan telegram, WhatsApp bukanlah aplikasi open-source, sehingga para peneliti keamanan tidak bisa mengecek apakah ada "pintu rahasia" atau backdoor di kode WhatsApp yang bisa dipakai pihak tertentu untuk menyadap pengguna.
Durov menyarankan Biro Investigasi Federal (FBI) di AS menekan pihak WhatsApp atau Facebook untuk memberikan backdoor, atau jalur rahasia agar bisa masuk ke sistem kemanan mereka.
"Bagi WhatsApp, menjadi layanan yang berorientasi pada privasi berisiko kehilangan seluruh pasarnya dan menyebabkan benturan antar otoritas di negara asal mereka," tulis Durov, seperti dikutip dari Gadgets 360, Jumat (17/5/2019).
Diakui Durov, membuat aplikasi komunikasi yang aman bukanlah pekerjaan yang mudah. Bahkan tahun 2016 silam, FBI sempat tiga kali mencoba melakukan infiltrasi ke dalam sistem mereka.
"Saya paham, agen kemanan menyetujui adanya 'pintu belakang' sebagai upaya anti-teror. Masalahnya, pintu tersebut juga bisa digunakan oleh penjahat dan pemerintah yang otoriter," katanya.
"Tidak heran bila diktator menyukai WhatsApp. Lemahnya kemanan memungkinkan mereka untuk mengintai warganya sendiri, jadi WhatsApp bisa bebas digunakan di negara-negara seperti Rusia dan Iran, di mana Telegram dilarang oleh pemerintah," imbuh Durov.
Diketahui, aplikasi asal Rusia tersebut kerap kali "bermasalah" dengan pemerintah negeri tersebut karena memiliki sistem enkripsi yang sangat kuat.
Telegram disebut enggan memberikan kunci enkripsi pada kepolisian Federal di Rusia untuk kepentingan pelacakan terorisme di sana. Hingga pada akhirnya, Rusia pun memblokir aplikasi hasil karya anak bangsanya sendiri pada tahun 2018.
Telegram sempat mendulang banyak user baru ketika Facebook, WhatsApp, dan Instagram tumbang secara bersamaan beberapa waktu lalu. Mereka mengklaim jumlah pengguna melonjak hingga 3 juta dalam waktu 24 jam saja. ***Oto Geo